Rabu, 12 November 2014

Kue Panekuk : Sepiring Kenangan Dari Masa Lampau


Saat kecil, Bapak selalu membuatkan saya sarapan kue panekuk sebelum berangkat sekolah, kue dari bahan terigu, telur dan susu dicampur menjadi sebuah adonan,  lalu digoreng dengan sedikit minyak.
 
Sepiring kue panekuk itu saja sudah cukup menguatkan perut saya hingga pulang sekolah nanti.

Saya ingat kue panekuk kegemaran saya adalah kue dengan telur yang agak banyak, dan sedikit gosong di tengahnya. Entah kenapa saya suka rasa sedikit gosong di makanan. Kesan rasa pahit itu menambah cita rasa makanannya. Bukankah dalam kehidupan juga seperti itu, kita selalu memerlukan rasa pahit untuk menambah cita rasa hidup kita.

Saat bapak mengajak saya berbelanja ke pasar adalah saat yang paling membahagiakan. saat itu, bapak mengajak saya berbelanja ke pasar Cisurupan Garut, pasar yang saat musim hujan tiba akan becek, bau dan membuat sandal kita kotor. Bahkan keadaannya tetap begitu hingga sekarang. Memang ada hal-hal yang selalu tak pernah berubah bahkan sampai kapanpun.

Diajak Bapak ke pasar adalah kenangan paling membahagiakan untuk saya, setiap awal bulan di tanggal empat, bapak menerima uang pensiunnya. Disaat itu pula Bapak mengajak saya berbelanja ke pasar. Sekilo terigu, sekantong telur dan kadang-kadang sepelastik coklat bubuk siap untuk menemani sarapan saya satu bulan ke depan. Bahkan jika sedang beruntung dan uang pensiun Bapak masih bersisa, saya akan mendapatkan mainan yang saya inginkan.

Bapak saya adalah orang yang ramah kepada siapapun, badannya tinggi tegap sisa kejayaan masa mudanya sebagai seorang tentara, berpengetahuan luas dan sangat suka sekali membaca buku. Kemana-mana ia suka membawa Koran favoritnya, Koran “Pikiran Rakyat”. Dan jika ia pulang dari mana saja, ia juga suka membawakan saya Koran Pikiran Rakyat juga.

Saat menyusuri pasar sambil tangan dituntun oleh Bapak adalah saat terbaik dalam hidup saya, saat itu saya akan menunjuk setiap mainan yang saya inginkan, dan pasti jawaban bapak selalu “nanti kalau Bapak sudah punya uang.” Tapi saya tidak pernah kecewa, bahkan sampai sekarangpun. Sekarang saya akhirnya mengerti untuk bahagia kita tak perlu mendapatkan apa yang kita inginkan, kita cukup mendapatkan apa yang kita butuhkan saja yaitu kasih sayang.

Bapak merangkap ibu bagi saya saat kecil, memandikan, memakaikan baju dan memasakan makanan. Kami melalui hari-hari tak seperti Bapak dan anak seperti umumnya. Orang lain mungkin menghabiskan waktunya dengan berkunjung ke kebun binatang atau mengunjungi wahana bermain lainnya. Tidak bagi saya dan bapak, aktivitas saya dan bapak dalam mengisi waktu luang adalah membaca buku bersama, bapak dengan Koran “Pikiran Rakyat”nya dan saya dengan majalah “Bobo” saya. biasanya jika ada kata-kata di majalah yang saya tak mengerti, saya akan menayakannya pada Bapak. Lalu bapak akn menjelaskannya secara panjang lebar.   Lalu setelah saya lapar bapak akan  membuatkan saya sepiring kue panekuk, tentu saja dengan sedikit gosong di tengahnya.

Sepiring kue panekuk adalah kenangan indah, manisnya masa kanak-kanak, harumnya aroma kasih sayang dan tentu saja selalu mengingatkan saya kepada pahlawan saya sepanjang masa, Bapak saya.
Banyak orang menganggap saya adalah titisan dirinya, bemata coklat, rambut ikal, suka bepergian kemana saja, tidak suka keramaian, tak banyak bicara, lebih suka susu daripada kopi, suka olahraga apa saja, suka menulis di buku harian dan senang membaca apapun.

Dia juga sangat suka menonton pertandingan sepakbola, “Apa klub sepakbola kegemaran Bapak?”tanyaku suatu hari. Dia lalu berkata dengan bangga”Inter Milan.”
“lalu siapa pemain kegemaran bapak.”tanyaku lagi kemudian.
“Ronaldo.”jawabnya sambil membuka foto seorang pemain sepakbola bekepala plontos. Sejak saat itu akupun mulai mengidolai Inter Milan dan Ronaldo. Bahkan hingga Ronaldo pensiunpun aku tetap mengidolakannya sebagai mana aku akan terus mengidolai Bapakku sampai kapanpun. Ternyata cinta yang sesungguhnya memang tak berbatas waktu.

Saya merindukan menonton spakbola di Televisi bersama dia, taruhan, dan pasti menang ataupun kalah bapaklah yang akan menerima hukuman, entah itu harus membuakan saya sepiring kue panekuk ataupun sepiring nasi goreng. Saya merindukan saat dia membacakan cerita untuk saya sebelum tidur, cerita berjudul Sakadang monyet Dan Sakadang kuya yang ceritanya setiap malam tetap sama judulnya, tapi entah kenapa saya selalu suka dan selalu menantikannya setiap malam.
“De, posisi keberapa Inter Milan sekarang?” tanyanya saat saya pulang dari Jakarta, merantau mencoba berlari dari kepahitan hidup. Waktu cepat berlalu, begitupun kesehatan Bapak saya yang semakin lama makin memburuk, badannya lebih kurus dari dulu, sudah tak bisa berjalan jauh, dan nafasnya yang terkadang  tak beraturan karena terserang asma.

“sedang jelek pak, mereka sering kalah akhir-akhir ini.”jawab saya.
“begitu yak, maklum Bapak sudah jarang nonton bola sekarang, siapa pemain bintang mereka sekarang?”
“Milito pak, tahun lalu dia jadi pahlawan Inter di final liga champions.”
Dia mengangguk-anggukan kepalanya yang lemah. Diskusi tentang sepakbola ini seperti menggiring saya kembali ke masa lalu, bedanya sekarang Bapaklah yang sering bertanya kepada saya.

Saat Dia harus dilarikan ke rumah sakit, saya dan Ibu yang merawatnya setiap hari. Siang dan malam. Alat bantu oksigen tak pernah lepas dari mulutnya. Keadaanya semakin hari semakin memburuk, sampai hari itu entah kenapa Bapak tertidur sangat pulas. Wajahnya tenang, dan tak kesulitan bernafas seperti biasanya. Di ruangan rumah sakit kelas ekonomi, Bapak tertidur di tengah bau obat dan raungan kesakitan orang-orang yang menderita di tengah sakitnya, aku menungguinya sampai larut malam, ketika tiba-tiba mata yang lemah itu terbuka, ketika sadar saya berada di dekatnya, ia lalu memegang erat tangan saya “Dede..”
“Iya.”jawab saya lirih, berusaha menahan tangis seperti yang diajarkannya kalau lelaki sejati pantang menangis. Memegang erat tangan saya, tak ada kata lain terucap dari bibirnya lagi selain nama saya. mungkin karena rasa sakit yang terlampau menyerangnya.

Saya memuja dia selamanya, bagi saya dia adalah guru kebahagiaan, ketabahan sekaligus guru kesabaran. Guru dalam mengarungi kerasnya kehidupan sekaligus guru dalam mengarungi hari-hari.
Dan guru kesedihan sejati. 

Lalu tak lama setelah itu, ia pergi untuk selamanya, Ia pergi dengan tenang saat tertidur. Saya sedang tertidur di sebelahnya saat ia pergi, dalam tidur saya sempat memimpikannya dan ia berpamitan seperti biasa, seperti saat dia berpamitan akan main layang-layang saat saya kecil dulu. Saya telah menyiapkan hati menghadapi saat-saat dia pergi sejak lama, seperti yang pernah dia bilang kalo dia baru akan pergi setelah saya siap. Kenangannya selalu menghantui saya setiap waktu, kadang-kadang ketika saya sedang makan sepiring kue panekuk saya seperti mendengar teriakannya dari dapur, bertanya apakah kuenya akan dibuat gosong, atau saat saya sedang menonton pertandingan Inter Milan di televisi, saat terjadi gol saya seperti mendengar teriakan bahagianya di sebelah saya.

Lama saya tak menikmati sepiring kue panekuk. Saya lupa rasa kenangannya, rasa pahitnya dan rasa cintanya. Hingga kemarin saya diajak seorang teman makan di sebuah restoran Eropa, dan di menu tertera kue panekuk sebagai makanan penutup. Ketika makanan itu tersaji di atas meja. Makanan itu seperti berkata, aku adalah kenanganmu dulu, aku datang untuk  menghantuimu dengan kenangan-kenangan indahmu dulu.  

Sepiring kenangan masa kecil

Indah dan pahit

Sabtu, 01 November 2014

Kisah pria Tua pemburu Angin



“Ia barulah layang-layang jika melayang, meski tak berhak membayangkan wajah angin.”

Entah sejak kapan aku mulai menggemari hobi baruku ini, hobi menerbangkan layang-layang, memang terlalu ganjil untuk dilakukan seorang pensiunan tua sepertiku. Tapi sejak hijrah dari kota bandung delapan belas tahun lalu ke kampung ini. Sayang rasanya melewatkan hembusan kencangnya angin pegunungan. Bukankah Tuhan menciptakan sesuatu dengan sebuah alasan,  begitupula Tuhan menciptakan angin kencang untuk agar layang-layang terbang tinggi menembus langit.

Tak pernah bosan aku memandangi wajahnya yang masih suci, apalagi saat tertidur seperti itu. Dia anak lelakiku, harapanku, pengobat perihnya kalbuku. Tak tega rasanya harus meninggalkan dia saat ini apalagi hanya untuk menerbangkan layang-layang. Kasihan dia, waktu lagi enak-enaknya menyusui tetek ibunya, ditinggalkannya dia bersama tangis oleh ibunya. Karena susahnya ekonomi keluarga kami, ibunya pergi merantau keluar negeri sebagai TKI. Praktis sejak menjelang habis masa oroknya dia berada dalam pengasuhanku bahkan entah anak lelaki yang kini sudah berusia enam tahun itu masih ingat bentuk wajah ibunya atau tidak aku tak tahu.

“kenapa bapak suka main layang-layang?”tanyanya di suatu malam yang hanya terdengar suara jangkrik samar-samar.
“layang-layang itu jiwanya merdeka nak, dia pasrah meskipun diombang-ambing kesana kemari oleh angin. Dan dia tak pernah mengeluh saat tali mereka putus, tak pernah mencaci dan selalu memaafkan.”jawabku sambil mengusap rambutnya yang ikal dan hitam. Dia kelihatan sangat bingung dengan jawabanku yang memang sulit dipahami bahkan oleh bocah sekecil itu. Ia lalu menatapku dengan mata bulatnya lalu berkata “berarti layang-layang lebih baik dari manusia ya pak? Kan manusia banyak yang susah memaafkan.” Aku hanya tersenyum mendengar perkataannya. Kadang-kadang memang seorang bocah kecil mempunyai pemikiran yang lebih jernih dari orang dewasa,mungkin karena jiwa mereka belum terasuki sifat serakah, nafsu dan menguasai.

Perlahan-lahan mata kecil yang terpejam lelap itu terbuka dari tidur siangnya, seperti biasa jika saat terbangun ada aku disisinya dia akan berkata “mau kemana pak? Dede ikut ya! Sedangkan jika saat dia terbangun aku tidak ada di sampingnya, dia akan menangis meronta-ronta memanggil-manggil nama Bapaknya. Betapa ketakutan terbesar bocah kecil itu adalah ditinggalkan bapaknya.
“tidak akan Nak, bapak tidak akan meninggalkanmu seperti layang-layang putus yang meninggalkan tuannya. Bapak bagaikan layang-layang yang talinya begitu kuat sampai hanya sang angin sendirilah yang bisa membuat putus tali dengan sendirinya.”

Kadang-kadang dengan umurku yang sudah tua ini, aku takut meninggalkan anakku terlalu cepat. Tidak bisa menyaksikannya tumbuh menjadi lelaki tangguh, sukses dan dikejar-kejar para wanita. Pernah suatu hari dia pulang sekolah dengan mata berlinang air mata karena menangis.
Aku membungkuk di hadapannya sambil kuusap rambutnya lalu kutanyakan.
“kenapa menangis? Lelaki sejati itu pantang untuk menangis.”
“Aku diejek teman-teman pak, kata mereka aku punya Ayah yang sudah tua dan sebentar lagi akan mati. Bapak belum tua kan pak? Katanya tanpa berhenti terisak. Antara lucu dan haru kutepuk pundak anak lelakiku itu lalu kukatakan “tidak nak, Bapak belum tua, bapak masih muda. Lihat bapak masih kuat main layangan kan.”
“berarti bapak gak bakalan cepat mati?” kulihat tangisnya mulai reda tanda munculnya kelegaan di hatinya.
“iya, bapak gak akan mati, bapak akan menemanimu main layangan dan main bola terus.”demi setelah mendengar jawabanku matanya langsung berbinar dan semburat keceriaan timbul di wajahnya.

Kupangku dia keluar dan kuraih layang-layang beserta benangnya. Siang itu angin berhembus kencang dan aku menerbangkan layang-layang bersama anakku.

“kita akan panggil angin barat, bukan badai atau petir
Kita akan minta kambing mengembik, kuda meringkik
Dan sapi melenguh agar angin meniupkan gerak-gerikmu
Mengatur tegang kendurnya benang itu
Sejak itu..
Kami tak habis-habisnya mengagumi angin, terutama ketika
Siang melandai dan aroma sore tercium di atas kampung kecil ini.
 


Jumat, 31 Oktober 2014

Teman



Pagi itu seperti biasa aku sedang menyapu halaman warnet tempatku bekerja ketika Herman datang sambil menenteng dua kantong kecil berisi gorengan beraneka jenis.
“Ayo ded kita sarapan dulu.”sapanya sambil memberikanku suatu senyuman ciri khasnya, memamerkan segaris giginya yang ompong.
“Mantap, sering-sering aja lu begini hehe.”jawabku lalu menaruh sapu dan duduk di teras di samping temanku Herman dan dua bungkus gorengan yang masih panas.
Hidup memang tak bisa ditebak, seperti saat ini Aku terdampar menjadi seorang penjaga warnet di kawasan kota Tangerang yang ramai. Dan aku mendapatkan seorang sahabat yang juga tak kuduga, seorang pemuda botak bergigi ompong yang baik hati. Jika kuingat pertama kali Aku dan Herman bertemu, sering Aku terheran-heran sendiri, saat itu Ia tak lebih seorang pelanggan warnet biasa. Hampir tiap hari dia bermain di warnet tempatku bekerja bahkan sampai berja-jam, saking seringnya ia berkunjung ke Tempatku sampai-sampai anak-anak kecil penggemar game online memanggilnya dengan panggilan Bang Ompong. Dia tidak marah dijuluki seperti itu, seperti biasa dia hanya tersenyum sambil memamerkan giginya yang minus.

“emang lug gak punya kerjaan bang saban hari nongkrong disini terus?”tanyaku suatu hari saat Herman selesai bermain dan hendak membayar tagihan warnetnya.
“gue kerja di bengkel mas, tapi freelance gitu, gue kerja kalo ada kerjaan aja.”jawabnya sambil mengasongkan selembar uang lima puluh ribu yang telah kucel karena terlalu sering berpindah tangan.
Aku memang seorang yang bodoh dan Cuma seoang penjaga warnet, tapi setahuku tak ada kerjaan di bengkel yag dikerjakan secara freelance. Tapi aku tak ingin banyak prasangka, apa urusanku, fikirku. Setelah itu obrolan kami mengalir layaknya teman yang sudah lama saling kenal. Bahkan esoknya jika sudah lelah bermain sering kutawari ia untuk tidur dikamarku di atas saja agar ia bisa istirahat. ia sangat senang dan seperti biasa membalasnya dengan memamerkan gigi minusnya. Persahabatan kami semakin lama semakin erat, bahkan hampir tiap hari ia membawakanku makanan enak. Kadang-kadang martabak telur, gorengan atau bahkan sebungkus nasi padang, makanan yang termasuk mewah untuk seorang karyawan kecil bergaji tiarap sepertiku.

Ia bercerita jika ia seorang perantau asal Padang dan anak sulung yang harus menafkahi keluarganya, ayahnya seorang yang tua dan sudah sakit-sakitan.
“Ded hidup di Jakarta halal haram sama saja udah sulit buat dibedain.”katanya suatu malam saat warnet sudah sepi dan yang terdengar  hanya raungan suara kendaraan bermotor yang sesekali lewat.
“tapi bukankah itu tetap ga bisa dibenarkan.”sanggahku yang memang tak setuju.
“Ded  lu harus tau, setiap orang  berhak untuk mencari pembenaran dari apapun yang dia kerjakan. Entah itu baik atau buruk.”jelasnya sambil menerawang ke ruang kosong. aku tak mengerti arah pembicaraan manusia ompong satu ini, tak biasanya ia bicara tentang benar dan salah. Biasanya paling banter dia ngobrol tentang film bokep kesukaannya atau saling ledek tentang bagaimana susahnya mencari pacar dengan wajah di bawah standar seperti kami berdua.

Setelah pembicaraan yang aneh itu, entah kenapa kami berdua lebih banyak terdiam. Sampai Herman bergegas pamit untuk pulang. Kutawari dia agar menginap di tempatku saja, dia menolak dan bilang kalo besok ia ada kerjaan pagi-pagi sekali. Dan anehnya kali ini ia tak memamerkan senyum ompong khasnya, sebersit aura aneh tiba-tiba mendesir di dadaku. Hari ini memang prilaku si ompong ini tidak seperti biasanya. Sebelum pergi dia menyerahkan sebuah bungkusan yang berbungkus Koran tabloid gossip bertuliskan pernikahan Raffi Ahmad dan Nagita slavina.
“itu hadiah buat lu, kebetulan kemaren gue dapat rezeki lebih.”katanya
“makasih, kebetulan gue lagi kekurangan pakaian, eh kenapa lu gak ngasih sekalian sama celananya”jawab gue sambil membuka bungkusan yang ternyata isinya sebuah kaus berwarna hitam.
"gila aje, lu pikir gue bapak lu."jawabnya sambil tersenyum.

Besoknya seharian Herman tak muncul main ke tempatku, mungkin kerjaannya di bengkel sedang banyak. Fikirku dalam hati. Tapi sampai hari-hari selanjutnya ia tak pernah muncul lagi. aku mulai heran, sempat kukira kalo dia pulang kampung ke Padang, tapi dia sendiri yang bilang haram hukumnya bagi anak minang sejati pulang mearantau sebelum berhasil apa yang dicita-citakannya. Hari demi hari gigi ompongnya tak nongol ke warnetku. Kucoba hubungi lewat hp. Tapi tak ada jawaban dari hp nokia jadul miliknya. Hingga pada suatu sore yang tidak cerah dan sedikit mendung datang Pak RT yg berniat memfotocopy sebuah dokumen.
“Tolong fotocopy ini dong ded!”katanya sambil mengeluarkan satu lembar kertas dari sakunya.
“beres pak, emangnya dokumen apaan nich?”
“surat kematian, besok mau dikirim ke kampungnya di padang.”jawabnya tenang, sesantai mengucapkan hasil pertandingan sepakbola.
Kaget Aku ketika membaca sebuah nama di surat kematian itu karena dengan jelas tertera nama Herman Caplin sahabatku, dan asal padang pula. Tak mungkin ini fikirku.
“Pak, ini yang meninggal Herman yang tinggal di kostan cempaka putih bukan?”tanyaku, penasaran sambil bekerharap bahwa yang meninggal herman yang lain.
“betul ded, itu herman yang di Cempaka Putih yang giginya ompong, dia mati dikeroyok masa seminggu yang lalu gara-gara mencuri motor.
Sontak dunia rasanya berhenti berputar, dikeroyok, mencuri motor, sungguh tak kuduga akhir
dari hidupnya akan tragis seperti itu. Lalu bagaimana perasaan ayahnya yang sakit-sakitan ketika yang pulang adalah mayatnya. Aku lalu teringat perkataannya malam tempo hari “ setiap orang  berhak untuk mencari pembenaran dari apapun yang dia kerjakan. Entah itu baik atau buruk.” Jadi yang ia maksud kerjaan Freelance itu adalah mencuri. Dan ia membenarkan prilakunya menjadi seorang Pencuri demi menghidupi keluarganya di kampung.

 Besoknya fikiranku masih hancur, kubuka hadiah kaus pemberian Herman dan dikaos itu tertera tulisan  “ We ride together, we die together. Bad boys for life.”  Kukenakan kaos hitam pemberiannya dulu, lalu kutulis sebuah puisi di secarik kertas.

Ketika kenanganmu pergi bersama ketiadaanmu
Yang tersisa hanya asa
Harapanmu untuk mengangkat derajat keluarga
Adalah nilai kemuliaanmu di mata Tuhan
Kau boleh dipandang hina di mata manusia
Semoga kau mendapat tempat terbaik di sisi Tuhan
Teman…
      

Kamis, 30 Oktober 2014

Cucuku Kebanggaanku


Sang Jejak petualang

Jangan ganggu pria tua itu jika siang bada dzuhur tiba, dia akan khusyuk didepan TV jika saat itu tiba. Siang bada dzuhur adalah harga diri, kebanggaan dan semangat hidup bagi pria tua yang mulai renta dimakan usia itu. Jangan heran jika sebelum acara yang dinanti-nantinya tiba, ia hilir mudik mengabarkan kepada tetangga-tetangga dekatnya agar jangan lupa menonton Tv siang itu. Dan saat acara yang dinantikannya itu tiba, akan ada senyum penuh arti yang tersungging dari bibirnya seperti berkata dengan bangga.”lihat dunia betapa bangganya Aku, Cucuku ada di TV. Dia artis terkenal sekarang. Betapa hebat Aku ini bukan?”

Aku sudah cukup senang karena pria tua yang adalah ayahku itu bisa merasakan rasa bangga di sisa usianya, kini dia telah meninggalkanku untuk selamanya. Tapi kenangannya masih terus kuingat dengan sangat nyata. Cucu yang ayahku bangga-banggakan memang benar-benar seorang artis terkenal dan memang sangat pantas untuk menjadi kebanggaan keluarga. cukuplah menjadi pengobat luka karena Aku tak pantas untuk menjadi anak yang akan dibanggakan keluarga, seorang pemain sepakbola gagal yang bahkan tak pernah tembus seleksi untuk tim kabupaten.

Cucu yang menjadi kebanggaan ayahku adalah presenter acara jejak petualang, acara traveling paling terkenal pada zamannya. Namanya Riyanni Djangkaru. Mungkin yang terlintas di pikiran manusia manapun saat membaca tulisan ini adalah tidak percaya, dan itupun yang dirasakan berpuluh-puluh orang tetangga saat sang pria tua memoles cerita kepada mereka bahwa sang pembawa acara adalah cucu kandungnya sendiri, dan mana mungkin seorang pria tua miskin yang tinggal di negeri antah berantah bisa punya seorang cucu gadis kota berparas cantik kaya serta terkenal.

Bersama Riyanni Djangkaru
Cukup, jangan sebut ayahku seorang pembual, aku bersumpah demi Tuhan kalau apa yang dikatakannya memang benar adanya. Riyanni Djangkaru si jejak petualang itu memang benar-benar cucunya, keponakanku asli. riyanni adalah putri dari kakak tiriku yang menikah dengan seorang pria Palembang dengan marga djangkaru. Saat di sekolah aku sering diberondong pertanyaan oleh teman-temanku yang bertanya tentang desas desus apakah benar jika Riyani Djangkaru adalah kerabatku, saat itu aku hanya bisa menuruti nasihat ibuku untuk bungkam “jangan membenarkan sesuatu hal yang belum tentu bisa kau buktikan.” katanya. Yang kutahu semasa hidupnya ayahku hanya bisa bertemu beberapa kali dengan cucunya itu, begitupula denganku, bertatap muka dengannya hanya sekali dua kali. bahkan aku tak tahu pasti apakah Riyanni juga menganggap Ayahku kakeknya seperti halnnya Ayahku menganggap dia cucunya. sepertinya kesibukan seorang public figure bisa dijadikan sebuah alibi untuk mengapa betapa mahalnya pertemuan seorang kakek dan idolanya itu. Tapi kutahu semua keterbatasan hubungan keluarga itu tak mengurangi kebanggaan besar ayahku padanya. Aku selalu suka kata-kata ini “aku mencintaimu tanpa syarat dan alasan apapun, lagipula jika cinta membutuhkan alasan mungkin artinya aku tidak mencintaimu.”