Saat kecil, Bapak selalu membuatkan saya sarapan kue panekuk sebelum berangkat sekolah, kue dari bahan terigu, telur dan susu dicampur menjadi sebuah adonan, lalu digoreng dengan sedikit minyak.
Sepiring kue panekuk itu saja sudah cukup menguatkan
perut saya hingga pulang sekolah nanti.
Saya ingat kue panekuk kegemaran saya adalah kue
dengan telur yang agak banyak, dan sedikit gosong di tengahnya. Entah kenapa
saya suka rasa sedikit gosong di makanan. Kesan rasa pahit itu menambah cita
rasa makanannya. Bukankah dalam kehidupan juga seperti itu, kita selalu
memerlukan rasa pahit untuk menambah cita rasa hidup kita.
Saat bapak mengajak saya berbelanja ke pasar adalah
saat yang paling membahagiakan. saat itu, bapak mengajak saya berbelanja ke
pasar Cisurupan Garut, pasar yang saat musim hujan tiba akan becek, bau dan
membuat sandal kita kotor. Bahkan keadaannya tetap begitu hingga sekarang.
Memang ada hal-hal yang selalu tak pernah berubah bahkan sampai kapanpun.
Diajak Bapak ke pasar adalah kenangan paling
membahagiakan untuk saya, setiap awal bulan di tanggal empat, bapak menerima
uang pensiunnya. Disaat itu pula Bapak mengajak saya berbelanja ke pasar.
Sekilo terigu, sekantong telur dan kadang-kadang sepelastik coklat bubuk siap
untuk menemani sarapan saya satu bulan ke depan. Bahkan jika sedang beruntung
dan uang pensiun Bapak masih bersisa, saya akan mendapatkan mainan yang saya
inginkan.
Bapak saya adalah orang yang ramah kepada siapapun,
badannya tinggi tegap sisa kejayaan masa mudanya sebagai seorang tentara,
berpengetahuan luas dan sangat suka sekali membaca buku. Kemana-mana ia suka
membawa Koran favoritnya, Koran “Pikiran Rakyat”. Dan jika ia pulang dari mana
saja, ia juga suka membawakan saya Koran Pikiran Rakyat juga.
Saat menyusuri pasar sambil tangan dituntun oleh
Bapak adalah saat terbaik dalam hidup saya, saat itu saya akan menunjuk setiap
mainan yang saya inginkan, dan pasti jawaban bapak selalu “nanti kalau Bapak sudah
punya uang.” Tapi saya tidak pernah kecewa, bahkan sampai sekarangpun. Sekarang
saya akhirnya mengerti untuk bahagia kita tak perlu mendapatkan apa yang kita
inginkan, kita cukup mendapatkan apa yang kita butuhkan saja yaitu kasih
sayang.
Bapak merangkap ibu bagi saya saat kecil, memandikan,
memakaikan baju dan memasakan makanan. Kami melalui hari-hari tak seperti Bapak
dan anak seperti umumnya. Orang lain mungkin menghabiskan waktunya dengan
berkunjung ke kebun binatang atau mengunjungi wahana bermain lainnya. Tidak
bagi saya dan bapak, aktivitas saya dan bapak dalam mengisi waktu luang adalah
membaca buku bersama, bapak dengan Koran “Pikiran Rakyat”nya dan saya dengan
majalah “Bobo” saya. biasanya jika ada kata-kata di majalah yang saya tak
mengerti, saya akan menayakannya pada Bapak. Lalu bapak akn menjelaskannya
secara panjang lebar. Lalu setelah saya lapar bapak akan membuatkan saya sepiring kue panekuk, tentu
saja dengan sedikit gosong di tengahnya.
Sepiring kue panekuk adalah kenangan indah, manisnya
masa kanak-kanak, harumnya aroma kasih sayang dan tentu saja selalu
mengingatkan saya kepada pahlawan saya sepanjang masa, Bapak saya.
Banyak orang menganggap saya adalah titisan
dirinya, bemata coklat, rambut ikal, suka bepergian kemana saja, tidak suka
keramaian, tak banyak bicara, lebih suka susu daripada kopi, suka olahraga apa
saja, suka menulis di buku harian dan senang membaca apapun.
Dia juga sangat suka menonton pertandingan sepakbola, “Apa klub
sepakbola kegemaran Bapak?”tanyaku suatu hari. Dia lalu berkata dengan
bangga”Inter Milan.”
“lalu siapa pemain kegemaran bapak.”tanyaku lagi
kemudian.
“Ronaldo.”jawabnya sambil membuka foto seorang
pemain sepakbola bekepala plontos. Sejak saat itu akupun mulai mengidolai Inter
Milan dan Ronaldo. Bahkan hingga Ronaldo pensiunpun aku tetap mengidolakannya
sebagai mana aku akan terus mengidolai Bapakku sampai kapanpun. Ternyata cinta
yang sesungguhnya memang tak berbatas waktu.
Saya merindukan menonton spakbola di Televisi
bersama dia, taruhan, dan pasti menang ataupun kalah bapaklah yang akan
menerima hukuman, entah itu harus membuakan saya sepiring kue panekuk ataupun
sepiring nasi goreng. Saya merindukan saat dia membacakan cerita untuk saya
sebelum tidur, cerita berjudul Sakadang monyet Dan Sakadang kuya yang ceritanya
setiap malam tetap sama judulnya, tapi entah kenapa saya selalu suka dan selalu
menantikannya setiap malam.
“De, posisi keberapa Inter Milan sekarang?” tanyanya
saat saya pulang dari Jakarta, merantau mencoba berlari dari kepahitan hidup.
Waktu cepat berlalu, begitupun kesehatan Bapak saya yang semakin lama makin
memburuk, badannya lebih kurus dari dulu, sudah tak bisa berjalan jauh, dan
nafasnya yang terkadang tak beraturan
karena terserang asma.
“sedang jelek pak, mereka sering kalah akhir-akhir
ini.”jawab saya.
“begitu yak, maklum Bapak sudah jarang nonton bola
sekarang, siapa pemain bintang mereka sekarang?”
“Milito pak, tahun lalu dia jadi pahlawan Inter di
final liga champions.”
Dia mengangguk-anggukan kepalanya yang lemah.
Diskusi tentang sepakbola ini seperti menggiring saya kembali ke masa lalu, bedanya
sekarang Bapaklah yang sering bertanya kepada saya.
Saat Dia harus dilarikan ke rumah sakit, saya dan
Ibu yang merawatnya setiap hari. Siang dan malam. Alat bantu oksigen tak pernah
lepas dari mulutnya. Keadaanya semakin hari semakin memburuk, sampai hari itu
entah kenapa Bapak tertidur sangat pulas. Wajahnya tenang, dan tak kesulitan
bernafas seperti biasanya. Di ruangan rumah sakit kelas ekonomi, Bapak tertidur
di tengah bau obat dan raungan kesakitan orang-orang yang menderita di tengah
sakitnya, aku menungguinya sampai larut malam, ketika tiba-tiba mata yang lemah
itu terbuka, ketika sadar saya berada di dekatnya, ia lalu memegang erat tangan saya
“Dede..”
“Iya.”jawab saya lirih, berusaha menahan tangis
seperti yang diajarkannya kalau lelaki sejati pantang menangis. Memegang erat
tangan saya, tak ada kata lain terucap dari bibirnya lagi selain nama saya. mungkin
karena rasa sakit yang terlampau menyerangnya.
Saya memuja dia selamanya, bagi saya dia adalah guru
kebahagiaan, ketabahan sekaligus guru kesabaran. Guru dalam mengarungi kerasnya
kehidupan sekaligus guru dalam mengarungi hari-hari.
Dan guru kesedihan sejati.
Lalu tak lama setelah itu, ia pergi untuk selamanya,
Ia pergi dengan tenang saat tertidur. Saya sedang tertidur di sebelahnya saat
ia pergi, dalam tidur saya sempat memimpikannya dan ia berpamitan seperti
biasa, seperti saat dia berpamitan akan main layang-layang saat saya kecil
dulu. Saya telah menyiapkan hati menghadapi saat-saat dia pergi sejak lama,
seperti yang pernah dia bilang kalo dia baru akan pergi setelah saya siap.
Kenangannya selalu menghantui saya setiap waktu, kadang-kadang ketika saya
sedang makan sepiring kue panekuk saya seperti mendengar teriakannya dari
dapur, bertanya apakah kuenya akan dibuat gosong, atau saat saya sedang
menonton pertandingan Inter Milan di televisi, saat terjadi gol saya seperti mendengar
teriakan bahagianya di sebelah saya.
Lama saya tak menikmati sepiring kue panekuk. Saya
lupa rasa kenangannya, rasa pahitnya dan rasa cintanya. Hingga kemarin saya
diajak seorang teman makan di sebuah restoran Eropa, dan di menu tertera kue
panekuk sebagai makanan penutup. Ketika makanan itu tersaji di atas meja.
Makanan itu seperti berkata, aku adalah kenanganmu dulu, aku datang untuk menghantuimu dengan kenangan-kenangan indahmu
dulu.
Sepiring kenangan masa kecil
Indah dan pahit